Situs Media Informasi Kantor Imam Ali Khamenei
Terima:

Ajwibatul Istiftaat

  • TAQLID
  • THAHÂRAH (KESUCIAN)
  • SHALAT
    • SYARAT-SYARAT DAN PENTINGNYA SHALAT
    • WAKTU-WAKTU SHALAT
    • HUKUM KIBLAT
    • HUKUM TEMPAT SHALAT
    • HUKUM TEMPAT-TEMPAT KEAGAMAAN LAIN
    • SEPUTAR PAKAIAN PELAKU SHALAT
    • MEMAKAI DAN MENGGUNAKAN EMAS DAN PERAK
    • AZAN DAN IQAMAH
    • ZIKIR
    • SUJUD
    • HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
    • MEMBALAS SALAM
    • KERAGUAN-KERAGUAN DALAM SHALAT
    • SHALAT QADHA’
    • SHALAT QADHA’ PUTRA SULUNG
    • SHALAT JAMAAH
    • HUKUM BACAAN IMAM YANG SALAH
    • IMAM YANG CACAT
    • KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM SHALAT JAMAAH
    • BERMAKMUM DENGAN AHLUS SUNNAH
    • SHALAT JUM'AT
    • SHALAT IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
    • SHALAT MUSAFIR
    • ORANG YANG PEKERJAANNYA SAFAR (PERJALANAN) ATAU MEMERLUKAN SAFAR
    • PERJALANAN PELAJAR
    • KEINGINAN MENEMPUH MASAFAH DAN NIAT MENETAP 10 HARI
    • BATAS TARAKHKHUSH
    • PERJALANAN DOSA (MAKSIAT)
    • WATHAN (TEMPAT TINGGAL)
      Berkas yang Dicetak  ;  PDF

      WATHAN (TEMPAT TINGGAL)

      SOAL 672:
      Saya kelahiran kota Teheran. Kedua orang tua saya berasal dari kota “Mehdi Syahr”. Karena itulah, keduanya melakukan perjalanan berulang kali dalam setahun ke “Mehdi Syahr”. Karena mengikuti mereka, sayapun bepergian bersama mereka. Apa hukum shalat dan puasa saya, padahal saya tidak berencana untuk kembali dan menetap di kota kelahiran orang tua saya tersebut, namun bertekat untuk tinggal di Teheran.
      JAWAB:
      Dalam kasus yang anda sebutkan, maka hukum shalat dan puasa Anda di wathan asal kedua orang tua anda adalah hukum shalat dan puasa musafir.

      SOAL 673:
      Dalam 1 tahun saya tinggal selama 6 bulan di sebuah kota dan 6 bulan berikutnya di kota lain yang merupakan tempat kelahiran saya dan tempat tinggal keluarga dan saya juga. Namun, keberadaan saya di kotapertama tidaklah bersinambungan, namun terputus-putus. Misalnya, tinggal 2 minggu atau 10 hari atau kurang di sana, kemudian kembali ke kampung halaman dan tempat tinggal keluarga saya. Yang saya tanyakan ialah, ketika berniat menetap tidak sampai 10 hari di kota pertama, apakah saya dihukumi sebagai musafir ataukah tidak?
      JAWAB:
      Jika kota itu bukan wathan Anda, dan Anda tidak bermaksud menjadikannya wathan (tempat tinggal) juga, maka Anda selama waktu menetap kurang dari 10 hari di sana dihukumi sebagai musafir.

      SOAL 674:
      Seseorang yang ingin tinggal di suatu tempat, seberapa lama ia dapat berencana untuk dapat tinggal di tempat tersebut sehingga tempat itu dihukumi sebagai wathan-nya? Apakah ada perbedaan bahwa tinggalnya di tempat tersebut dimaksudkan untuk hidup atau untuk keperluan dinas atau keduanya?
      JAWAB:
      Apabila ia berencana tinggal di tempat itu selama tujuh atau delapan tahun, maka tempat itu sudah memadai untuk dihukumi sebagai wathan. Namun apabila untuk keperluan dinas atau keperluan lainnya selain untuk hidup di tempat itu, tempat tersebut tidak dapat dihukumi sebagai wathan.

      SOAL 676:
      Tempat kelahiran saya dan isteri saya adalah kota Kasymar. Namun, setelah diperbantukan untuk kerja di sebuah instansi pemerintah, saya pindah ke kota Neisyabur. Namun, para orangtua kami masih menetap di kota kelahiran kami. Pada awal perpindahan ke Neisyabur, kami berpaling dari (melepaskan kewargaan) wathan asal kami, Kasymar. Tapi, setelah 15 tahun berjalan, kami berpaling dari hal itu. Karenanya, kami mohon Anda YM berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
      1. Apa tugas kami, saya dan isteri, berkenaan dengan shalat saat pergi ke rumah orangtua kami dan menetap di sana beberapa hari?
      2. Apa tugas anak-anak kami yang lahir di tempat tinggal kami yang sekarang, Neisyabur dan yang kini sudah mencapai usia taklif (baligh) ketika mereka pergi bersama kami ke kota Kasymar dan menetap di sana beberapa hari?
      JAWAB:
      Setelah berpaling dari wathan (tempat tinggal) asal, Kasymar, hukum wathan tidak berlaku atas Anda berdua, kecuali bila Anda berdua kembali untuk hidup di sana lagi, dan dengan tujuan tersebut, Anda berdua menetap di sana selama beberapa waktu. Tempat tersebut juga tidak ditetapkan secara hukum sebagai wathan bagi anak-anak Anda. Karena itulah, kalian semua di kota ini dihukumi sebagai musafir.

      SOAL 677:
      Ada seseorang yang mempunyai dua wathan (sehingga ia tentu shalat secara utuh dan berpuasa di kedua tempat tersebut). Kami mohon penjelasan; apakah isteri dan anak-anaknya yang diasuh dan dipelihara wajib mengikuti wali mereka berkaitan dengan masalah ini, ataukah mereka berhak menggunakan pendapat sendiri secara bebas?
      JAWAB:
      Isteri boleh untuk tidak menjadikan wathan baru suaminya sebagai wathan-nya. Namun anak-anak yang masih kecil dan belum mandiri dalam berkehendak dan hidup, atau yang mengikuti kehendak ayah dalam masalah ini, maka wathan baru ayah merupakan wathan mereka juga.

      SOAL 678:
      Jika rumah sakit bersalin terletak di luar wathan ayah, sehingga ibunya harus berpindah ke rumah sakit selama beberapa hari untuk melahirkan, lalu, setelah bayinya lahir, kembali (ke rumahnya), manakah wathan bayi tersebut?
      JAWAB:
      Jika rumah sakit terletak di wathan (tempat tinggal) kedua orangtuanya yang memang hidup di situ, maka wathan asli bayi tersebut adalah wathan kedua orangtuanya. Jika tidak, maka sekedar kelahiran di suatu kota tidaklah cukup untuk menjadikan kota tersebut sebagai wathan. Melainkan wathannya adalah wathan kedua orangtuanya dimana ia pindah setelah terlahir dan hidup bersama mereka berdua di sana.

      SOAL 679:
      Ada seseorang yang menetap di kota Ahwaz sejak beberapa tahun. Namun ia tidak menjadikannya sebagai wathannya yang kedua. Bila ia keluar dari kota itu menuju suatu tempat yang mencapai atau tidak mencapai masafah syar'i, kemudian kembali lagi, apakah hukum shalat dan puasanya di sana?
      JAWAB:
      Setelah niat menetap (iqamah) di Ahwaz dan hukum (shalat secara) tamam dengan melaksanakan shalat ruba’iyah paling sedikit 1 kali berlaku atas dirinya, selama tidak meninggalkannya sampai masafah syar'i, ia shalat sempurna dan berpuasa di sana. Jika ia keluar sampai ukuran masafah atau lebih, maka ia diperlakukan secara hukum sebagaimana musafir lainnya.

      SOAL 680:
      Saya adalah warga Irak yang ingin berpaling darinya. Apakah saya (boleh) menjadikan Iran seluruhnya sebagai wathan, ataukah hanya tempat yang saya tempati, ataukah saya harus membeli sebuah rumah sehingga berhak menjadikannya sebagai wathan saya?
      JAWAB:
      Orang yang akan menjadikan sebuah tempat sebagai wathannya yang baru disyaratkan berniat untuk bertempat tinggal (tawaththun) di sebuah kota tertentu dan menetap di sana selama beberapa waktu sehingga ia secara ‘urf dianggap sebagai salah seorang penduduknya. Namun tidak disyaratkan memiliki rumah atau lainnya.

      SOAL 681:
      Seseorang yang berhijrah dari tempat kelahiran ke kota lain sebelum menjadi baligh yang saat itu tidak mengetahui hukum tentang masalah “berpaling dari wathan”, dan kini telah mencapai usia taklif (baligh). Apa tugasnya berkenaan dengan shalat dan puasanya di sana?
      JAWAB:
      Jika ia berhijrah dari tempat kelahiran karena mengikuti ayahnya, sedangkan ayahnya tidak berencana untuk kembali hidup di sana, maka hukum wathan tidak berlaku atasnya di tempat tersebut.

      SOAL 682:
      Jika seseorang mempunyai sebuah wathan yang kini tidak ditempatinya, namun kadangkala ia bersama isterinya mengunjunginya, apakah isterinya (wajib) shalat secara tamam di sana sebagaimana dirinya, ataukah tidak? Dan jika ia pergi sendirian kesana, apakah hukum shalatnya?
      JAWAB:
      Hanya dikarenakan tempat tersebut adalah wathan suami, maka tidak cukup untuk menjadi wathan bagi isterinya sehingga hukum wathan berlaku atasnya.

      SOAL 683:
      Apakah tempat bekerja dihukumi sebagai wathan?

      JAWAB:
      Bekerja di sebuah tempat tidak cukup untuk menjadikan tempat tersebut sebagai wathan-nya. Namun, bila ia mondar mandir antara tempat tinggal dan tempat kerjanya yang jaraknya mencapai batas masafah dalam 10 hari satu kali paling sedikit, maka hukum wathan berkenaan shalat tamam dan keabsahan berpuasa berlaku atas dirinya di tempat kerja tersebut.


      SOAL 684:
      Apa yang dimaksud dengan “seseorang yang berpaling dari wathannya”? Apakah wanita yang kawin dan kepergiannya bersama suami ke mana saja dianggap sebagai (tindakan) “berpaling ” ataukah tidak?

      JAWAB:
      Yang dimaksud ialah tindakan meninggalkan wathan dengan keputusan tidak akan kembali untuk menetap lagi di sana. Hanya pergi ke rumah suami di kota lain tidaklah meniscayakan berpaling dari wathan asalnya.


      SOAL 685:
      Kami mohon penjelasan pandangan Anda YM seputar masalah “wathan asli” dan “wathan kedua”?

      JAWAB:
      Wathan asli adalah tempat kelahiran seseorang dimana ia menetap dan tumbuh selama beberapa waktu.
      Wathan kedua adalah tempat dimana mukallaf berencana hidup di tempat itu selama tujuh atau delapan tahun.


      SOAL 686:
      Apa pendapat Anda YM tentang seseorang yang tidak berpaling dari wathan-nya dan kini bermukim di kota lain sejak 6 tahun? Ketika pulang ke wathan-nya, apakah ia melakukan shalat secara tamam atau qashr, mengingat ia termasuk orang yang tetap bertaqlid kepada almarhum Imam Khomaini (qs)?

      JAWAB:
      Selama ia tidak berpaling dari wathannya yang dulu, maka hukum wathan tetap berlaku atas dirinya. Ia shalat secara tamam dan sah berpuasa di sana.


      SOAL 687:
      Seorang mahasiswa menyewa sebuah rumah di kota Tabriz karena kuliah di universitas kota tersebut selama 4 tahun. Selain itu, ia berniat untuk menetap disana secara permanen jika memang memungkinkan. Kini di bulan Ramadhan, ia kadangkala mondar mandir ke wathan asal-nya, apakah kedua kota tersebut dapat dianggap sebagai wathannya ataukah tidak?

      JAWAB:
      Jika kini ia tidak bertekad bulat untuk menjadikan kota tempat kuliah sebagai wathan, maka hukum wathan tidak berlaku atas dirinya di tempat tersebut. Di wathan asli nya, hukum wathan tetap beralaku atas dirinya selama ia tidak berpaling darinya.


      SOAL 688:
      Ada seorang warga desa yang kini bekerja dan menetap di Teheran. Kedua orang tuanya hidup di desa dan memiliki tanah dan property disana. Ia pergi ke sana untuk mengunjungi atau membantu mereka. Namun, ia sama sekali tidak bermaksud untuk menetap di sana, padahal disanalah ia dilahirkan. Bagaimana shalat dan puasanya selama berada di desa tersebut?

      JAWAB:
      Jika ia tidak berniat untuk kembali dengan tujuan menetap dan menjalani kehidupan di desa tersebut, maka hukum wathan tidak berlaku atas dirinya di sana.

      SOAL 689:
      Apakah tempat kelahiran dianggap sebagai wathan, meski tidak ditempati?

      JAWAB:
      Jika ia menetap di tempat tersebut selama beberapa masa dan tumbuh di sana, dan selama ia tidak berpaling darinya, maka hukum wathan berlaku atas dirinya. Jika tidak, maka hukum wathan tidak berlaku atasnya.

      SOAL 690:
      Apa hukum shalat dan puasa orang yang bermukim di satu daerah yang bukan wathannya selama (9) tahun, dan kini ia dilarang kembali ke wathannya, meski ia bertekad bahwa suatu saat akan kembali ke sana?

      JAWAB:
      Berkenaan dengan shalat dan puasa di tempat yang dihuninya sekarang, ia dihukumi sebagai musafir.

      SOAL 691:
      Saya telah melewatkan usia selama 6 tahun di sebuah desa dan 8 tahun di sebuah kota. Kini saya datang ke kota Masyhad untuk studi. Apa hukum shalat dan puasa saya di masing-masing tempat tersebut?

      JAWAB:
      Hukum wathan berlaku atas anda berkenaan dengan shalat dan puasa di desa tempat kelahiran selama anda tidak berpaling darinya. Selama di Masyhad, apabila Anda tidak bermaksud menjadikannya wathan, maka hukum musafir berlaku atas anda. Adapun kota yang anda tempati selama beberapa tahun, jika anda telah menjadikannya sebagai wathan dan selama tidak berpaling darinya, maka hukum wathan berlaku atas anda di sana. Jika tidak, maka anda disana dihukumi sebagai musafir.
    • IKUT SUAMI
    • HUKUM KOTA-KOTA BESAR
    • SHALAT SEWAAN (ISTIJARAH)
    • SHALAT AYAT
    • SHALAT-SHALAT NAFILAH
    • LAIN-LAIN
  • PUASA
  • KHUMUS
  • JIHAD
  • AMAR MA'RUF & NAHI MUNKAR
  • MEMPERDAGANGKAN BENDA-BENDA NAJIS
  • MASALAH LAIN-LAIN SEPUTAR MATA PENCAHARIAN
  • MENGAMBIL UPAH DARI PERBUATAN YANG WAJIB
  • CATUR
  • ALAT-ALAT JUDI
  • MUSIK DAN NYANYIAN
  • TARIAN
  • APLAUS (TEPUK TANGAN)
  • GAMBAR (FOTO) DAN FILM
  • PARABOLA
  • DRAMA DAN BIOSKOP
  • MELUKIS DAN MEMAHAT
  • SIHIR, SULAP, MENDATANGKAN ROH DAN JIN
  • UNDIAN DAN SAYEMBARA
  • SUAP
  • Hukum-hukum Kedokteran
  • ETIKA BELAJAR DAN MENGAJAR
  • HAK CIPTA
  • TRANSAKSI DENGAN NON-MUSLIM
  • BEKERJA DI NEGARA ZALIM
  • BUSANA
  • MENIRU NON MUSLIM DAN MENYEBARKAN BUDAYA MEREKA
  • BERHIJRAH
  • ROKOK DAN NARKOTIKA
  • JENGGOT DAN KUMIS
  • BERADA DI LOKASI DAN TEMPAT MAKSIAT
  • JIMAT DAN ISTIKHARAH
  • MENGHIDUPKAN ACARA KEAGAMAAN
  • Jual-beli Fudhuli
  • Para Pemilik dan Hak Menjual
  • Syara-syarat Barang yang Diperjual-belikan
  • Syarat-syarat Akad (Kontrak Transaksi)
  • Barang-barang yang Diikutsertakan dalam Jual-beli (Tawabi’)
  • Serah Terima Barang dan Uang
  • Jual-beli Tunai dan Kredit
  • Jual-beli Salaf
  • Jual-beli Emas, Perak dan Uang
  • Berbagai Masalah Perniagaan
  • KHIYAR
  • RIBA
  • KEPEMILIKAN BERSAMA (SYUF’AH)
  • SEWA-MENYEWA
  • GADAI (RAHN)
  • PATUNGAN MODAL (SYIRKAH)
  • HIBAH
  • HUTANG-PIUTANG
  • SHULUH
  • AGENSI, PERWAKILAN DAN PENGACARA
  • SEDEKAH
  • PINJAMAN DAN PENITIPAN
  • WASIAT
  • GHASAB
  • MAHJUR DAN TANDA-TANDA BALIG
  • MUDHARABAH
  • PERBANKAN
  • Hadiah Bank
  • Bekerja di Bank
  • Hukum Cek dan Giro
  • ASURANSI
  • ASET NEGARA
  • Pegawai Negeri
  • WAKAF
  • Hukum-hukum Wakaf
  • Syarat-syarat Wakaf
  • Syarat-syarat Penanggung jawab Wakaf
  • Syarat-Syarat Barang Yang Diwakafkan
  • Syarat-Syarat Penerima Wakaf
  • Sigat (pernyataan) Wakaf
  • Menjual Barang Wakaf dan Mengubahnya
  • KUBURAN
700 /